Aplikasi Penggunaan Satelit Penginderaan Jauh di Indonesia Pada Pengendalian Masalah Lingkungan


I. Pendahuluan

“Keanekaragaman Hayati untuk Masa Depan”. Mungkin makna kalimat ini harus dipahami secara utuh oleh manusia karena disadari atau tidak, eksploitasi terhadap sumber-sumber daya hayati sering tidak terkontrol sehingga memberikan dampak negatif terhadap kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Keanekaragaman hayati yang dimaksud disini adalah keanekaragaman habitat dan ekosistem termasuk proses yang terjadi didalamnya.

Keanekaragaman hayati tidak hanya diartikan sama dengan jumlah spesies pada suatu tempat saja akan tetapi lebih kompleks dibanding kekayaan spesies. Manusia memanfaatkan kekayaan alam yang ada tidak hanya untuk generasi sekarang saja tetapi juga bagaimana caranya agar potensi yang ada masih bisa dinikmati oleh generasi mendatang. Secara umum pemanfaatan keanekaragaman hayati masih berorientasi untuk mendapatkan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan.

Orasi ilmiah ini menguraikan pentingnya dukungan teknologi sebagai alat bantu dalam memonitor pemanfaatan sumber-sumber daya hayati yang berkelanjutan, disamping perangkat lainnya seperti kebijakan-kebijakan dan perangkat hukum. Teknologi yang dimaksud adalah teknologi penginderaan jauh, yaitu suatu teknologi yang dapat merekam dan menganalisa suatu obyek atau fenomena yang terjadi pada permukaan bumi dan atau di atas permukaan bumi. Dengan teknologi penginderaan jauh keberadaan sumber-sumber daya hayati dan kerusakan lingkungan akibat aktifitas manusia dapat diidentifikasi secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu.

Sebagai ilustrasi, kebakaran hutan Indonesia divisualisasikan dengan citra satelit. Ilustrasi ini diharapkan menjadi salah satu potret betapa pentingnya pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia melalui pengelolaan sumber-sumber daya hayati yang sistematik dan efisien menggunakan teknologi penginderaan jauh.

II. Keanekaragaman Hayati Indonesia dalam Era Globalisasi

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 18 ribuan pulau, bertempat tinggalnya flora dan fauna dari dua tipe yang berbeda asal-usulnya yaitu bagian barat (Indo-Malayan) dan bagian timur termasuk kawasan Pasifik dan Australia. Walaupun luas daratan hanya 1,3 % dari seluruh daratan bumi, tetapi Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang unik dan menakjubkan. Sekitar 10% spesies berbunga, 12% spesies mamalia, 16% spesies reptil dan amphibia, 17% spesies burung serta 25% spesies ikan dunia yang dikenal manusia terdistribusi di perairan Indonesia (BSP-Kemala, 2000). Dengan panjang wilayah pesisir yang mencapai 81,000 kilometer atau sekitar 14% dari panjang pantai dunia, maka ekosistem kelautan Indonesia sangat kaya dan bervariasi.

Hutan bakau Indonesia sangat luas dan memiliki jenis terumbu karang yang spektakuler di Asia. Perairan pesisir Indonesia menjadi sumber makanan bagi sejumlah besar mamalia laut, reptil, ikan dan burung-burung. Wilayah pesisir yang dangkal dengan terumbu karangnya dan hutan bakau melindungi wilayah ini dari dampak pasang laut dan tsunami. Secara tradisional terumbu karang menjadi sumber makanan yang sangat penting bagi masyarakat pesisir. Bagaimana dengan hutan tropis Indonesia ? Indonesia diperkirakan memiliki kawasan hutan tropis terbesar di Asia-Pasifik yaitu sekitar 1, 15 juta kilometer persegi dengan keanekaragaman jenis pohon yang paling beragam di dunia.

Hutan tropis Indonesia kaya akan spesies palm (447 spesies, dimana 225 diantaranya tidak terdapat di bagian dunia lainnya), lebih dari 400 spesies dipterocarp yaitu jenis kayu yang bernilai sangat tinggi secara ekonomis di Asia Tenggara, dan tersebarnya sekitar 25,000 spesies tumbuhan berbunga (Albar, 1997). Karena begitu kayanya keanekaragaman hayati Indonesia, sehingga menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang mempunyai jumlah keanekaragaman hayati terbesar. Untuk pulau Jawa saja, jumlah spesies setiap 10.000 km2 antara 2000 – 3000 spesies. Sedangkan Kalimantan dan Papua mencapai lebih dari 5000 spesies. Masih banyak keanekaragaman hayati Indonesia lainnya yang berpotensi dan berprospek secara ekonomis maupun keilmuan.

Jika dikaitkan dengan kebijaksanaan pembangunan secara menyeluruh maka suatu pembangunan harus mengandung tiga unsur utama yaitu ecological security, livelihood security dan food security (Soetrisno, 2002). Dalam perspektif keanekaragaman hayati, maka pemanfaatan sumber-sumber daya hayati harus dilakukan secara berkelanjutan. Akan tetapi banyak tindakan badan dunia seperti WTO (World Trade Organization) justru mempengaruhi pemanfaatan sumber daya hayati itu sendiri khususnya di negara berkembang. Misal, kebijaksanaan tentang Trade Related Intellectual Property Right dan berbagai keputusan lain yang menyangkut keanekaragaman hayati. Antara lain merusak ketahanan ekologis karena mendorong terciptanya konsentrasi pemilikan sumber daya hayati dengan cara menghilangkan batasan pemilikan terhadap keanekaragaman hayati. Contoh yang lebih mudah dipahami misalkan untuk meningkatkan ekspor produk pertanian maka pemerintah akan membuka perkebunan-perkebunan besar seperti kelapa sawit, karet atau tanaman lain yang dapat diekspor. Keberadaan perkebunan besar juga akan mengubah aspek-aspek kebijakan pertanian yang sehat. Perkebunan besar akan menguasai lahan pertanian yang sangat luas yang hanya ditanami dengan satu jenis tanaman saja, sehingga melemahkan ketahanan keanekaragaman hayati wilayah tersebut.

III. Penerapan Penginderaan Jauh di Bidang Inventarisasi Sumberdaya Alam

Potensi sumberdaya alam (SDA) bagi nagara sedang berkembang (developing country) seperti Indonesia belum dapat diketahui secara pasti dan menyeluruh, terutama untuk daerah luar Jawa yang berpenduduk relatif jarang. Dengan adanya teknologi Inderaja Satelit, proses inventarisasi SDA tersebut dapat dipercepat. Salah satu kegiatan yang telah hampir selesai dilaksanakan adalah inventarisasi sumberdaya lahan Nasional (SDLN) yang diwujudkan dalam bentuk peta tematik RePPProT (Regional Physical Planning Program for Transmigration), proyek bersama Deptrans PPH, BPN dan Bakosurtanal di era Orba. Daerah dengan potensi sumberdaya lahan (SDL) yang miskin, namun padat penduduknya diplot sebagai daerah sumber penyedia transmigran, sedangkan daerah dengan potensi SDL yang kaya SDA di luar Jawa diplot sebagai daerah tujuan/penerima transmigran. Dalam peta RePPProT tersebut tergambar pula kondisi vegetasi/tutupan lahan di setiap daerah. Potensi-potensi SDA yang lain seperti sumberdaya mineral tambang, air tanah, sumberdaya maritim, dll., semuanya dapat diketahui melalui teknologi Inderaja.

IV. Penerapan Indraja di Bidang Kehutanan, Pertanian, Perkebunan dan Perikanan

Kemampuan citra Landsat TM dan SPOT/P yang dihasilkan Multiband Scanner telah mampu mengidentifikasi jenis-jenis tanaman, kondisi tanaman dan menentukan jenis tanah serta sifat-sifat tanah lainnya. Bahkan dengan penggunaan Landsat TM beresolusi tinggi, kematangan tanaman dan ukuran rata-rata pohon di hutan dapat diketahui. Dengan kemampuan pemantauan Inderaja yang bersifat periodik dapat diketahui dan dievaluasi perkembangan/perubahan areal tanaman atau tumbuhan hutan setiap waktu. Sehingga dengan demikian teknologi ini merupakan sarana pengawasan pembangunan yang efektif dan efisien.

Di bidang perikanan, jasa teknologi ini juga dapat dirasakan manfaatnya, sekalipun tidak langsung. Hal-hal yang diketahui secara langsung adalah kondisi kekeruhan air, gerakan massa air (arus, panas atau dingin) dan sifat air lainnya. Dengan mengetahui kondisi air seperti itu dapat diperkirakan di tempat mana saja terdapat kumpulan ikan jenis tertentu. Para pencuri ikan (illegal fishing) juga menggunakan data peta/citra hasil teknologi Inderaja Satelit ketika mencuri ikan di perairan Indonesia. Sehubungan dengan itu, dengan memahami hasil anaIisis Inderaja di perairan, aparat Kamla dapat memperkirakan keberadaan para pencuri ikan (Hasyim B., 1995).

V. Penerapan Penginderaan Jauh di Bidang Pemantauan Bencana Alam

Sebelum bencana alam terjadi biasanya didahului oleh adanya gejaIa-gejala tertentu. Contohnya, sebelum gunung api meletus biasanya didahului oleh adanya peningkatan suhu permukaan bumi di sekitar gunung api tersebut. Peningkatan panas ini dapat diketahui dari perubahan yang terjadi pada citra Satelit Inderaja. Bahaya longsoran tanah atau pergeseran tanah pada umumnya diawali dengan adanya retakan atau rekahan atau patahan bidang tanah secara vertikal. Gejala demikian dapat diketahui dari hasil analisis citra foto atau citra radar. Bahaya badai atau angin ribut sebelumnya dapat diketahui dari adanya dua blok massa udara bertekanan sangat tinggi dan di lain pihak massa udara bertekanan rendah. Gejata udara ini dapat diketahui dari citra satellt GMS (Geostationary Meteorological Satellite). Demikian pula dengan bencana alam lainnya seperti banjir, kebakaran hutan, secara tidak langsung dapat diramalkan sebelumnya melalui perubahan gejala tertentu pada lingkungan setempat. Perubahan gejata ini dapat diketahui dari perubahan citra satelit dalam kurun waktu yang relatif singkat (Mahdi Kartasasmita, dkk, 1998).

Dengan citra satelit, kebakaran hutan dapat diketahui secara dini, bahkan dapat diantisipasi. Guguran daun dari pohon-pohon pada suatu areal hutan yang luas akibat kekeringan pada musim kemarau sangat rentan menimbulkan kebakaran yang hebat bilamana pada areal hutan tersebut berhembus angin kencang. Kondisi tersebut dapat diketahui dari citra Satelit. Kita, bahkan penduduk negara tetangga kita dapat mengetahui jumlah titik api pada kebakaran hutan di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dll. Untuk bencana alam yang ditimbulkan oleh dampak perbuatan manusia, seperti pertanian liar di daerah terlarang, illegal logging, illegal mining, dan lain-lain, dengan data citra satelit dapat diketahui dan bahayanya dapat diantisipasi secara dini. Kerusakan lingkungan, khususnya hutan yang sekarang marak terjadi dengan demikian dapat diminimalisasi, karena segera dapat diketahui sejak dini melalui citra satelit (Agus Hidayat, 1995).

VI. Penginderaan Jauh dan Pelestarian Lingkungan

Teknologi Inderaja dan Pelestarian Lingkungan. isu pelestarian lingkungan saat ini tampaknya telah menjadi kesadaran global. Semakin padatnya penduduk dunia menyebabkan tingkat ekspIoitasi SDA yang semakin tinggi sehingga mengancam kelestarian lingkungan. Bencana alam, berupa banjir, longsor, kebakaran hutan, penggundulan areal lahan terjadi di mana-mana. Bila kejadian ini dibiarkan akan mengancam kehidupan generasi manusia dan makhluk hidup pada umumnya di masa yang akan datang. Bahkan sekarangpun telah banyak species hewan dan tumbuhan yang telah punah. Untuk menghadapi ancaman yang serius ini diperlukan bukan hanya sekedar membangun kesadaran atas pentingnya pelestarian lingkungan melainkan tindakan nyata dari setiap individu untuk mengatasi kerusakan yang terjadi sekaligus upaya pelestarian lingkungan tersebut.

Dihadapkan pada upaya tersebut, teknologi Inderaja dapat memberikan informasi dini tentang ancaman bahaya kerusakan lingkungan baik secara tekstual maupun secara visual pada suatu daerah yang luas, sehingga dengan demikian upaya penanggulangannya dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Dengan teknologi Inderaja ini, kita dapat mengetahui kesadaran moral suatu bangsa yang tercermin dalam sikap komunalnya terhadap lingkungan fisik negaranya, karena kerusakan lingkungan di suatu negara akan diketahui oleh negara-negara lain melalui tampilan informasi satelit Inderaja. Kerusakan dan kebakaran hutan di Sumatera. Kalimantan, Sulawesi dan Papua tidak saja menjadi perhatian dan keprihatinan kita dan negara-negara tetangga, tetapi juga menjadi perhatian semua bangsa di dunia, karena hutan tropis Indonesia merupakan bagian besar dari paru-paru dunia yang situasi dan kondisinya menjadi perhatian masyarakat global. Karena itu kelambanan kita dalam menanggulangi kebakaran hutan setiap tahun merupakan hal yang memalukan karena menyangkut kredibilitas bangsa yang seolah-olah kurang peduli atas pelestarian fungsi global hutan tropis (Agus Hidayat, 1995).

VII. Kajian Sumber Daya Hutan dan Mineral Menggunakan Data Inderaja

Indonesia mempunyai hutan tropis yang paling luas dan paling kaya keanekaragaman hayati di dunia. Puluhan juta masyarakat Indonesia mengandalkan hidup dan mata pencahariannya dari hutan, baik dari mengumpulkan berbagai jenis hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka atau bekerja pada sektor industri pengolahan kayu.

Sementara bukti-bukti terjadinya kerusakan sudah sedemikian banyak, namun gambaran tentang kerusakannya masih tetap kabur karena data yang ada saling bertentangan, informasi tidak tepat, dan klaim serta bantahan yang saling bertentangan. Oleh karena itu ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk melakukan penilaian yang obyektif terhadap situasi hutan Indonesia. Berapa banyak tutupan hutan yang masih tersisa di Indonesia dan berapa luas hutan yang telah hilang dan bagaimana kondisi hutan yang masih tersisa sekarang ini.

Selain masalah hutan, topik lain yang perlu di kaji adalah masalah informasi sumber mineral permukaan bumi ekstraksi informasi yang berkaitan dengan geologi seperti lithology, struktur geologi dan pemetaan indeks mineral permukaan bumi masih dilakukan secara konvesional. Adanya tehnik penginderaan jauh, dan GIS merupakan salah satu teknologi yang dapat mengatasi masalah tersebut sehingga menjadi lebih sistematis dan mudah dilaksanakan.

Pendekatan metode yang umum digunakan antara lain adalah interpretasi visual dan interpretasi digital, seperti false color composition, Principal Component transformation, Band rationing, edge enhancement, Filtering dan Classification . Pengolahan dilakukan pada citra asli satelit kemudian dianalisis informasi geologi seperti jenis mineral, lithology, struktur, jenis patahan, lipatan, rekahan, dan pola morphology. Kemudian daripadanya dibuat berbagai skenario gejala tektonik, maupun sejarah geologi maupun pola geologi struktur di suatu wilayah tertentu.  Tujuan penelitian untuk memperoleh model ekstraksi informasi hutan dengan menggunakan data ALOS (AVNIR dan PRISM).

IX. Mitigasi Bencana Aplikasi Data ALOS untuk Mitigasi Bencana Longsor

Mitigasi bencana longsor pada prinsipnya bertujuan untuk meminimumkan dampak bencana tersebut. Untuk itu kegiatan early warning (peringatn dini) bencana menjadi sangat penting. Peringatan dini dapat dilakukan antara lain melalui pengembangan sistem informasi spasial daerah rawan bencana dan prediksi cuaca/iklim sebagai salah satu faktor yang menentukan bencana longsor.

Pemanfaatan data satelit khususnya untuk aplikasi data satelit untuk bencana geologi dihadapkan pada masalah pemilihan jenis data dan metode pengolahannya. Kebutuhan data dengan resolusi tinggi (spasial, spektral, temporal) perlu dikombinasikan menjadi suatu aplikasi komplementer, sehingga keunggulan masing-masing data dapat dimanfaatkan. Khusus dalam aplikasi data ALOS, hingga saat ini belum dilakukan riset untuk menyusun model pengolahan data bagi aplikasi bencana geologi.

Tujuan

a. Mengkaji karakteristik data ALOS dan data inderaja lainnya yang berhubungan dengan parameter penentu kerentanan longsor.

b. Menyusun model pengolahan data ALOS dan data inderaja lainnya untuk menurunkan beberapa parameter kerentanan longsor, khususnya DEM, jenis tanah/batuan, dan penutup lahan.

c. Menyusun model pengolahan data ALOS dan data inderaja lainnya untuk pengembangan sistem informasi spasial kerentanan longsor.

X. Analisis Tingkat Kerusakan Lahan Pulau Madura Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan SIG

Kegiatan pembangunan yang kurang memperhatikan aspek lingkungan akan membawa dampak terhadap lingkungan, terutama terjadinya kerusakan lahan. Upaya untuk pengendalian dan pemulihan kerusakan lahan memerlukan data dan informasi yang lengkap dan akurat. Seiring dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh memungkinkan untuk melakukan kajian mengenai kerusakan lahan secara efektif dan efisien pada wilayah berskala luas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan citra Landsat-TM dan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk penentuan tingkat kerusakan lahan. Penentuan potensi kerusakan lahan dilakukan dengan pembobotan indikator kerusakan lahan yang sekaligus berfungsi sebagai variabelnya. Hasil yang diperoleh bahwa tingkat kerusakan lahan di Pulau Madura dari tahun 1994 sampai dengan 2001 adalah kondisi atau tingkat kerusakan lahan yang termasuk dalam klas agak rusak berkurang sebesar 0,90 %, sedangkan tingkat kerusakan lahan dalam klas rusak bertambah sebesar 3,90 % dan tingkat kerusakan lahan dalam klas sangat rusak bertambah sebesar 0,14 %.

XI. Aplikasi Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Pengukuran Biomassa

Biomassa tegakan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik gelombang elektromagnetik yang dipancarkannya. Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan, kondisi iklim setempat terutama temperature dan curah hujan. Data biomassa suatu ekosistem menunjukkan  tingkat  produktifitas ekosisitem tersebut, sehingga sangat berguna untuk mengevaluasi pola produkstivitas berbagai macam ekosistem di dunia. Dari segi manajemen hutan secara praktis, biomassa hutan sangat penting dalam tahap perencanaan hutan, karena keseluruhan kegiatan operasional pengelolaan hutan sangat dipengaruhi oleh besarnya biomassa atau potensi hutan.

Penelitian dengan menggunakan citra  landsat TM untuk menduga biomassa dilakukan oleh Januardi di areal HPH PT Bina Lestari Riau pada tahun 1998, di kawasan hutan mangrove HPH tersebut. Penutupan lahan dikelaskan dengan metode klasfikasi terbimbing (supervised classification) dengan pengkelasan maksimum likelihood pada komposisi kanal 354 dan didukung data pemeriksaan lapangan serta peta yang tersedia. Perbedaan warna pada kelas hutan mangrove juga disebabkan oleh variasi kerapatan tegakan sehingga menyebabkan perbedaan proporsi pantulan obyek. Pada tegakan rapat pantulan energi yang diterima sensor satelit didominasi oleh pantulan energi dari vegetasi mangrove.  Sedangkan pada tegakan jarang pantulan energi yang diterima sensor merupakan campuran dari pantulan mangrove dan lantai hutan. Hasil uji statistic F pada analisis sidik ragam model regresi linear sederhana menunjukkan bahwa hanya pada nilai digital pada kanal 1,2,3 dan 4 mempunyai hubungan regresi yang nyata dengan biomassa hutan mangrove. Dari enam macam indeks vegetasi yang diuji,  semuanya mempunyai hubungan regresi sangat nyata dengan biomassa vegetasi mangrove pada tingkat kepercayaan 0,99.

Penentuan Penutupan Lahan

Penutupan lahan dapat ditentukan dengan melakukan identifikasi dan interpretasi citra satelit penginderaan jauh.  Data-data penutupan lahan banyak digunakan sebagai dasar dalam perencanaan pembangunan ataupun pengembangan wilayah, monitoring pelestarian sumberdaya hutan. Penginderaan jauh dapat juga dimanfaatkan untuk mengevaluasi keberhasilan kegiatan reboisasi dengan beberapa  pendekatan antara lain perubahan penutupan lahannya (indicator tingkat pertumbuhan tanaman) dan pengaruh reboisasi terhadap penurunan tingkat erosi.  Pengumpulan data dilakukan dengan teknik penginderaan jauh dan survey  lapangan.  Proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan yang dimulai tahun 2003, beberapa tahun ke depan dapat dievaluasi keberhasilannya dengan menggunakan metode di atas.

Pada studi pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan reboisasi di Sub DAS Roraya Kendari  dengan membandingkan citra foro udara tahun 1988 dan tahun 1985.  Berdasarkan data citra foto tahun 1988 diketahui bahwa luas hutan areal reboisasi  berhasil sebesar 1.661,5 ha, sedangkan pada tahun 1985 areal tersebut berupa tanah kosong dan alang-alang. Hal ini menunjukkan perubahan liputan lahan atau penutupan lahan karena adanya kegiatan reboisasi.

Penentuan Kerapatan Tegakan

Kerapatan tegakan dapat  dijadikan parameter untuk menentukan tingkat kerusakan tegakan hutan. Data penginderaan jauh memiliki kemampuan dalam menampilkan tingkat kerapatan tegakan.  Data Landsat TM dapat digunakan untuk pemantauan kondisi tegakan, luas dan distribusi hutan secara actual dan factual. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh LAPAN memberikan contoh pemanfaatan data landsat TM untuk pemantauan kondisi hutan mangrove di Pantura Subang dan Pantai Timur Lampung.    Analisis kerusakan mangrove didasarkan pada hasil analisis perubahan tingkat  kerapatan vegetasi mangrove yang diturunkan dari histogram indeks vegetasi (NDVI) dua dimensi.  Dalam kasus ini, kelas kerapatan dapat dibagi ke dalam lima kategori yaitu kerapatan  sangat jarang, kerapatan jarang, kerapatan sedang, kerapatan lebat dan kerapatan sangat lebat. Indeks vegetasi dihitung dengan menggunakan rumus : NDVI = (NS4-NS3)/(NS4+NS3), dimana NDVI adalah indeks nilai vegetasi normal berkisar antara -1 (indeks minimum) sampai +1 (indeks maksimum), parameter NS3 dan NS4 masing-masing adalah nilai spekstral untuk setiap piksel yang diperoleh dari kanal  3 dan 4 landsat TM.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan luas pada 4 (empat) kategori tingkat kerapatan tegakan mangrove, tidak pada kerapatan sangat lebat. Adanya penambahan luas kategori selain kerapatan sangat lebat, terjadi karena adanya degradasi yang sangat pada  tingkat kerapatan sangat lebat.

XII. Aplikasi Teknik Penginderaan Jauh dan SIG untuk identifikasi Tingkat Kerusakan Hutan Akibat Kebakaran

Dalam rangka memecahkan salah satu permasalahan lahan bekas kebakaran maka diperlukan suatu kajian aplikasi teknik penginderaan  jauh dan Sistem Informasi Geografis  (SIG)  untuk  klasifikasi tingkat kerusakan akibat kebakaran. Kajian tersbut bertujuan untuk menyediakan teknik identifuikasi lahan dan klasifikasi tingkat kerusakan dalam rangka inventarisasi potensi lahan yang tersisa. Kajian ini merupakan kegiatan lanjutan tahun ke dua, dimana pada tahun pertama telah diamati perubahan sebelum dan sesudah kebakaran yang terjadi pada suatu areal pengujian.  Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini berupa citra Landsat 1997, NOAA 1999, peta-peta dasar, data sekunder, data primer dari pengecekan lapangan.

Analisis citra yang digunakan adalah metode PCA dan  bilinear  interpolation. Tingkat kebakaran diklasifikasikan berdasar jumlah hot spot  yang ada di citra NOAA. Tingkat kerusakan lahan diklasifikasikan berdasarkan persentase tanaman yang masih hidup, yaitu > 75%, 50-75 %, 25-50%, dan < 25 % masing-masing untuk tidak rusak, rusak ringan, rusak sedang dan rusak berat. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa (1) tingkat kebakaran lahan tidak selalu paralel dengan tingkat kerusakannya. Kebakaran ringan dapat menyebabkan kerusakan yang lebih luas karena ada faktor pendukungnya, (2) jenis tanah yang mendominasi lokasi penelitian adalah Oxisols (43,9%), yang terkecil adalah histosols (10%). Walaupun tanah Histosols tidak terlalu luas tetapi jenis tanah ini yang paling banyak mengalami tingkat kebakaran berat, (3) berdasarkan jenis penutupan lahannya, kebakaran terluas terjadi pada hutan sekunder (90745,8 ha) dan paling sedikit pada tegalan (361,2 ha), sedangkan prosentase tingkat kerusakan berat paling banyak terjadi pada kebun karet (47937,7 ha), (4) analisis dengan metode PCA dapat mempermudah interpretasi lahan bekas terbakar dengan tingkat kerusakan berat, mudah mengenali semak belukar dan tanah kosong, jalan dan sungai serta dapat mengurangi pengaruh penutupan kabut. Sedangkan metode bilinear dapat mempermudah interpretasi dalam membedakan tanaman tua dan muda.

XII. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pengendalian Kebakaran Hutan

Analisis kerentanan kebakaran hutan dan lahan

Analisa tingkat kerentanan dimulai dari proses pengumpulan sebab-sebab kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Sanggau. Kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Sanggau di sebabkan oleh dua faktor utama, yaitu: kebijakan kehutanan dan kondisi alam yang memang cukup rentan.  Faktor kebijakan kehutanan jelas sangat mempengaruhi adanya pembakaran hutan dan lahan secara berlebihan dengan adanya kebijakan pembukaan perkebunan. Faktor alam lebih menentukan dan mendorong apabila kebakaran telah terjadi. Besar kecilnya volume kebakaran sedikit banyak ditentukan oleh kondisi alam, karena pada saat kebakaran sudah besar, manusia sudah tidak mampu lagi mengendalikan api yang sudah terlalu besar. Kondisi lain kadang ebakaran sudah tidak tampak di permukaan, akan tetapi bara masih menyala dibawah permukaan. Berdasarkan dua faktor utama tersebut dapat dipilah menjadi tiga faktor  penyebab kebakaran hutan dan lahan yang meliputi: faktor fisik  yang terdiri dari klasifikasi jenis tanah, kondisi geologi, dan kemiringan lereng, faktor aktivitas yang terdiri dari status hutan dan penggunaan lahan dan faktor aksesibilitas yang terdiri dari jarak ke pemukiman, jarak ke jalan dan jarak ke sungai. Aksesibilitas sangat mempengaruhi aktivitas manusia, baik itu manusia dalam lingkungan hutan maupun manusia yang berkepentingan dengan kehutanan.

Kasus kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Sanggau  tidak dapat dilepaskan dari faktor fisik lahan. Pada berbagai wilayah, kebakaran yang terjadi tidak pada permukaan tanah karena sudah habisnya bahan bakar yang dapat dibakar, tetapi kebakaran terjadi pada sub permukaan. Kebakaran seperti ini terjadi pada sisipan batubara yang cukup dekat dengan permukaan karena adanya kontak dengan oksigen (O2) lebih mempermudah terjadinya api. Spesifikasi kebakaran yang lain adalah kebakaran yang terjadi pada tanah gambut. Pelapukan bahan organik yang tidak sempurna kadangkala menjadikan jenis ini mempunyai tekstur yang kasar, kecuali pada tanah-tanah gambut yang cukup tua. Pada golongan tanah gambut muda, pada kondisi iklim kemarau, golongan tanah ini mudah sekali berkondisi sangat kering karena kandungan bahan organiknya sangat tinggi. Sehingga pada saat kebakaran terjadi, jenis tanah ini juga mudah terbakar (flameable). Klasifikasi kemiringan lereng terbagi menjadi dua klas yaitu lereng dengan kemiringan <15% termasuk tidak rentan dan lereng dengan kemiringan >15% termasuk rentan.

Published by Fadly Sutrisno

Heavier Than You Think

Leave a comment