Aplikasi Penggunaan Satelit Penginderaan Jauh di Indonesia untuk Mitigasi Serta Penanggulangan Bencana Longsor


I. Pendahuluan

Kondisi alam Indonesia yang terletak di daerah ekuator mengakibatkan tingginya sensitifitas alam terhadap perubahan pola unsur alam yang saling terkait. Sensitifitas tersebut dapat berupa bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin, letusan gunung Merapi, tsunami dll. Fenomena alam ini sering dialami dalam waktu terakhir ini di Indonesia.

Tanah Longsor

Pengertian

Longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun  percampuran  keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dariterganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Ada 6 jenis tanah longsor, yakni: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan.Jenis longsoran translasi  dan  rotasi  paling  banyak  terjadi  di  Indonesia. Sedangkan  longsoran  yang  paling  banyak  memakan  korban  jiwa  manusia adalah aliran bahan rombakan.

II. Studi Kasus Bencana Alam Tanah Longsor

Dalam kegiatan peninjauan yang dilakukan telah dikonsentrasikan ke daerah Serang, Pandeglang dan Lebak (belum termasuk Cipanas dan Muncang), namun Tim tidak dapat langsung menuju lokasi mengingat terisolirnya daerah dan adanya potensi longsor susulan masih sangat tinggi akibat hujan yang turun terus menerus. Hal yang sangat membahayakan adalah penggelontoran lumpur cair di lereng bukit yang dapat setiap saat terjadi serta banyaknya lorong-lorong penggalian emas yang tertutup lumpur cair. Sehubungan dengan hal tersebut diatas dan adanya musibah belum ditemukannya korban dalam lorong-lorong galian, Tim menempuh upaya sebagai berikut :

Interprestasi data Geologi untuk mengetahui karakteristik geologis wilayah bencana serta pembuangan lumpur mengarah pada saluran yang dibuat. Hal ini juga ditindaklanjuti dengan disain estuari akibat fluktuasi pasang surut yang menghambat aliran ke pantai. Interprestasi data curah hujan (dari LAPAN) saat ini dan pola umum dari tahun sebelumnya guna antisipasi potensi longsor susulan akibat pola curah hujan.

Interpretasi Data GIS (dari Bakosurtanal) untuk identifikasi lorong galian di bukit. Mobilisasi alat induksi Getar dan Geo Detektor (dari LIPI dan Perguruan Tinggi) untuk mencari benda yang mungkin ada dalam lorong-lorong tersebut (diutamakan mencari penambang yang terperangkap). Berkoordinasi dengan beberapa industri strategis untuk penggunaan helikopter guna identifikasi lorong serta penentuan saluran pembuang lumpur cair. Demikian pula dengan penyediaan perahu karet untuk pemindahan penduduk.

Melakukan penerangan pada masyarakat tentang antisipasi tindakan darurat yang perlu dilakukan berdasarkan curah hujan yang masih ada sekarang.

Mendistribusikan informasi pembuatan makanan sendiri oleh masyarakat berdasarkan buku informasi hasil penelitian Iptek yang telah diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Demikian halnya dengan sosialisasi pembuatan rumah “Knock Down” seperti di Bengkulu.

III. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Penanggulangan Bencana Tanah Longsor

Hyperspectral merupakan teknologi penginderaan jauh tercanggih yang memanfaatkan kisaran spektrum yang luas sehingga hasil yang didapat lebih detail dan akurat. Sensor hyperspectral dengan resolusi spasial 30 m, memiliki lebih dari 200 channel dengan interval 10 nm, jauh lebih banyak dibandingkan dengan sistem multispectral yang di miliki oleh sensor Landsat TM (7 channel) atau SPOT (4 channel). Aplikasi teknologi mencakup di bidang pertanian, kehutanan, dan ekologi dengan mempelajari laju proses de-komposisi, ketersediaan hara, produktivitas, fisiologi tanaman, dan vegetasi. Teknologi hyperspectral juga sangat bermanfaat untuk eksplorasi mineral (pemetaan litologi dan geobotani). Contoh sensor hyperspectral antara lain adalah Hyperion yang terda-pat di satelit observasi bumi NASA (NASA EO-1) yang diluncurkan pada tahun 2000.

Data penginderaan jauh untuk identifikasi dan pemetaan kawasan rawan longsor

Tanah longsor terjadi saat lapisan bumi paling atas dan bebatuan terlepas dari bagian utama gunung atau bukit. Pada prinsip-nya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari pada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan. Hal ini biasanya terjadi karena meningkatnya intensitas curah hujan, gempa bumi, atau letusan gunung api.

Tanah longsor dapat juga diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti penggundulan hutan untuk perluasan areal pertanian dan perluasan wilayah pemukiman ke areal yang berbukit sehingga mengganggu stabilitas lereng. Tanda-tanda bahwa suatu area berpotensi rawan longsor dapat dilihat dari kejadian sebelumnya. Gejala umum tanah longsor di antaranya munculnya retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing, munculnya mata air secara tiba-tiba, serta tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan. Tanah longsor dapat terjadi di lereng yang tidak terjal maupun di lereng yang terjal tergantung pada karakteristik lansekapnya.

Prediksi terjadinya tanah longsor di masa mendatang membutuh-kan pemahaman terhadap kon-disi dan faktor penyebab tanah longsor di suatu wilayah kajian di antaranya: peristiwa tanah long-sor yang pernah terjadi sebelum-nya untuk mempelajari karakteristik tanah longsor, kemiringan lereng, jenis batuan induk dan faktor hidrologis (tutupan vegetasi, orientasi lereng atau presipitasi). Data yang diperoleh melalui teknologi pengideraan jauh sangat bermanfaat untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan terjadinya bencana tanah longsor. Kemampuan mendeteksi ini antara lain bergantung pada resolusi citra, skala akusisi sensor, skala kerja dan prosentase awan/kabut. Identifikasi karakteristik bencana longsor membutuhkan citra dengan resolusi spasial sekitar 10 meter (Richards, 1982) serta citra yang stereo. Kebanyakan citra yang dihasilkan oleh sistem satelit misalnya Landsat TM/ETM+ dan SPOT tidak dapat memenuhi kedua kriteria tersebut kecuali untuk pengamatan berskala besar. Deteksi karakteristik bencana longsor paling mudah dilakukan dengan menggunakan airborne sensor.

Potret udara dengan skala 1:60.000 dapat digunakan untuk mendeteksi tanah longsor untuk skala kecil dan besar dengan menggunakan pankromatik dan film Infra Red (IR) hitam dan putih atau film IR berwarna. Film IR yang sensitif terhadap emulsi, mampu mengatasi awan/kabut terutama di iklim tropis yang lembab. Foto IR berwarna dapat memperlihatkan stres yang diperlihatkan oleh vegetasi akibat adanya pergerakan-pergerakan di dalam tanah. Thermal IR merupakan detektor yang lebih sensitif terhadap kelembaban yang berkaitan dengan tanah longsor. Sensor ini sangat ber-manfaat terutama untuk mencari daerah aliran air (seepage) yang membasahi permukaan lereng. Hasil pemotretan akan menjadi efektif apabila dilakukan pada malam hari ketika terjadi perbedaan suhu maximum pada terain dan aliran air tanah.

Sayangnya sensor thermal IR ini memiliki keterbatasan apabila diaplikasikan untuk mendapatkan foto dengan resolusi spasial yang tinggi, di mana pemotretan harus dilakukan pada elevasi yang rendah, untuk areal studi yang luas karena membutuhkan penerbangan yang intensif dan ka-rena distorsi geometris yang dimilikinya. Walaupun informasi yang dihasilkan oleh airborne sensor terutama oleh potret udara luas digunakan untuk menghasilkan peta inventarisasi tanah longsor, foto udara yang tersedia belum mencakup semua wilayah. Oleh karena itu para ahli masih sangat bergantung pada ketersediaan data satelit global yang dapat membantu menganalisis potensi bahaya bencana longsor.

IV. Antisipasi Curah Hujan Diatas Normal dan Siklon Tropis Penyebab Longsor

Prediksi curah hujan pada bulan Februari 2001 berdasarkan data OLR (Outgoing Longwave Radiation) menunjukan bahwa curah hujan masih relatif sama dengan curah hujan pada bulan Januari 2001. Peningkatan curah hujan diprakirakan terjadi di Kepulauan Nusa Tenggara, sedangkan penurunan curah hujan diprakirakan terjadi di Jawa Tengah bagian Utara dan Kepulauan Maluku bagian Selatan. Dibandingkan dengan kondisi normalnya, curah hujan pada bulan Februari 2001 di prakirakan sedikt berada di atas normal. Kondisi curah hujan di atas normal di prakirakan akan terjadi di seluruh Sumatera kecuali Lampung bagian tengah (normal), hampir seluruh Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Irian Jaya. Suplai air di daerah sentra produksi padi di Indonesia diprakirakan masih dalam kondisi berlebih.

Berdasarkan prediksi OLR, curah hujan pada bulan Maret 2001 di prakirakan akan mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan Februari 2001. Penurunan curah hujan diprakirakan terjadi di Lampung, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Irian Jaya. Dibandingkan dengan kondisi normalnya, curah hujan di atas normal dapat terjadi di Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan bagian Barat, Lampung bagian Barat, Jawa Barat bagian Utara, Kalimantan Barat, Kalimantang Tengah, Kalimantan Timur bagian Selatan dan Irian Jaya bagian Timur. Suplai air di daerah-daerah penghasil padi di Aceh, Sumatera Utara, Jawa, Bali dan Sulawesi Selatan di prakirakan masih tercukupi.

Beberapa daerah yang perlu diwaspadai berkaitan dengan potensi banjir atau longsor pada bulan Januari – Februari 2001 adalah Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat, Banten dan Jawa Barat, Jawa Tengah, Flores, Kalimantan bagian Tengah, Sulawsei Selatan, dan Irian Jaya bagian tengah. Dari kajian hasil prediksi OLR dengan menggunakan data anomali suhu permukaan laut (Sea Surface Temparature, SST) di Pasifik Tropik terlihat bahwa curah hujan selama bulan Nopember 2000 di sebagian besar wilayah Indonesia berada di atas rata-rata ( di atas normal).

Demikian pula pada bulan Desember 2000, curah hujan berkisar mulai di rata-rata (normal) sampai dengan di atas rata-rata (di atas normal) untuk sebagian besar wilayah Indonesia, Daerah-daerah yang harus diwaspadai berkaitan dengan curah hujan tinggi dan gerakan tanah (longsor) adalah Lombok, Flores, Sulawesei Utara dan Jawa Timur (khususnya Jatim di bagian Selatan). Pada bulan berikutnya sampai dengan Febuari 2001 curah hujan masih cukup tinggi tetapi makin menurun dibandingkan dengan bulan Desember 2000 sehingga mengurangi bahaya banjir atau longsor. Meskipun demikian berdasarkan overlay prediksi OLR bulan Januari 2001 dengan peta rawan bencana lingkungan yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal dan Peta Kerentanan Gerakan Tanah dari Direktorat Geologi Tata Lingkungan, ada beberapa daerah rawan banjir dan longsor yang berada di sekitar perairan yang hangat (warm pool) antara Maluku dan Irian Jaya, sehingga daerah Sulawesi Utara dann Irian Jaya bagian kepala burung juga perlu di waspadai karena curah hujannya di prakirakan di atas normal.

Pada bulan Februari 2001 beberapa daerah yang masih perlu diwaspadai karena curah hujannya di prakirakan di atas normal adalah di Aceh, Sulawei Utara dan Kalimantan Timur bagian Utara. Kondidi curah hujan pada bulan Maret 2001 diketahui bahwa pada akhir musim hujan 2000/2001 curah hujan di prakirakan akan normal kembali. Secara umum sampai akhir musim hujan 2000/2001 curah hujan di Indonesia di prakirakan cenderung menuju normal. Hal ini didukung dengan prediksi anomali SST di Pasifik Tropis bagian Tengah yang dikeluarkan oleh NOAA-16 yang menunjukan kecenderungan peningkatan anomali suhu permukaan laut di daerah tersebut dari anomali negatif (sekitar –1 s/d –1.5) ke arah normal (atau mendekati nilai nol), sehingga kemungkinan pengaruh anomali SST Pasifik Tengah seperti pada fenomena El Nino atau La Nina pada periode inin relatif kecil. Dengan demikian kejadian cuaca buruk yang melanda beberapa daerah di Indonesia selama bulan November – Desemer 2000 lebih banyak dipengaruhi oleh depresi dan siklon tropis yang intensif di wilayah Asia Tenggara. Berdasarkan interpretasi data diatas, dilakukan upaya sebagai berikut :

Untuk wilayah yang memiliki banyak kegiatan penambangan tanah, maka upaya sosialisasi tindakan pencegahan dini longsor akan dilakukan bersama Pemerintah Daerah terkait. Bersama dengan itu, Data GIS disiapkan guna identifikasi lorong-lorong penambangan. Untuk daerah Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Jawa, dan Irian Jaya antisipasi terhadap gerakan tanah perlu dilakukan serta mengidentifikasi kesiapan saluran pembuangan banjir dan lumpur (Data dari Bakosurtanal).

Khususnya untuk antisipasi Siklon Tropis, data-data NOAA-16 (LAPAN) digunakan guna antisipasi dampak dan distribusinya terhadap masyarakat dalam hal pencegahan dini terhadap efek siklon seperti yang terjadi di bagian utara Jawa Timur.

V. Aplikasi Data ALOS untuk Mitigasi Bencana Longsor

Mitigasi bencana longsor pada prinsipnya bertujuan untuk meminimumkan dampak bencana tersebut. Untuk itu kegiatan early warning (peringatn dini) bencana menjadi sangat penting. Peringatan dini dapat dilakukan antara lain melalui pengembangan sistem informasi spasial daerah rawan bencana dan prediksi cuaca/iklim sebagai salah satu faktor yang menentukan bencana longsor.

Pemanfaatan data satelit khususnya untuk aplikasi data satelit untuk bencana geologi dihadapkan pada masalah pemilihan jenis data dan metode pengolahannya. Kebutuhan data dengan resolusi tinggi (spasial, spektral, temporal) perlu dikombinasikan menjadi suatu aplikasi komplementer, sehingga keunggulan masing-masing data dapat dimanfaatkan. Khusus dalam aplikasi data ALOS, hingga saat ini belum dilakukan riset untuk menyusun model pengolahan data bagi aplikasi bencana geologi.

Tujuan

a. Mengkaji karakteristik data ALOS dan data inderaja lainnya yang berhubungan dengan parameter penentu kerentanan longsor.

b. Menyusun model pengolahan data ALOS dan data inderaja lainnya untuk menurunkan beberapa parameter kerentanan longsor, khususnya DEM, jenis tanah/batuan, dan penutup lahan.

c. Menyusun model pengolahan data ALOS dan data inderaja lainnya untuk pengembangan sistem informasi spasial kerentanan longsor.

VI. Gejala Alam Tanah Longsor

Tanah longsor sendiri merupakan gejala alam yang terjadi di sekitar kawasan pegunungan. Semakin curam kemiringan lereng satu kawasan, semakin besar kemungkinan terjadi longsor. Semua material bumi pada lereng memiliki sebuah “sudut mengaso” atau sudut di mana material ini akan tetap stabil. Bebatuan kering akan tetap di tempatnya hingga kemiringan 30 derajat, akan tetapi tanah yang basah akan mulai meluncur jika sudut lereng lebih dari 1 atau 2 derajat saja.

Longsor terjadi saat lapisan bumi paling atas dan bebatuan terlepas dari bagian utama gunung atau bukit. Hal ini biasanya terjadi karena curah hujan yang tinggi, gempa bumi, atau letusan gunung api. Dalam beberapa kasus, penyebab pastinya tidak diketahui. Longsor dapat terjadi karena patahan alami dan karena faktor cuaca pada tanah dan bebatuan. Kasus ini terutama pada iklim lembab dan panas seperti di Indonesia. Ketika longsor berlangsung lapisan teratas bumi mulai meluncur deras pada lereng dan mengambil momentum dalam luncuran ini, sehingga luncuran akan semakin cepat (sampai sekitar 30 meter/detik). Volume yang besar dari luncuran tanah dan lumpur inilah yang merusak rumah-rumah, menghancurkan bangunan yang kokoh dan menyapu manusia dalam hitungan detik.

Meskipun tanah longsor merupakan gejala alam, beberapa aktifitas manusia bisa menjadi faktor penyebab terjadinya longsor, ketika aktifitas ini beresonansi dengan kerentanan dan kondisi alam yang telah disebutkan. Contoh aktifitas manusia ini adalah penebangan pepohonan secara serampangan di daerah lereng; Penambangan bebatuan, tanah atau barang tambang lain yang menimbulkan ketidakstabilan lereng; Pemompaan dan pengeringan air tanah yang menyebabkan turunnya level air tanah, pengubahan aliran air kanal dari jalur alaminya, kebocoran pada pipa air yang mengubah struktur (termasuk tekanan dalam tanah) dan tingkat kebasahan tanah dan bebatuan (juga daya ikatnya); Pengubahan kemiringan kawasan (seperti pada pembangunan jalan, rel kereta atau bangunan), dan pembebanan berlebihan dari bangunan di kawasan perbukitan.

Para ilmuwan mengkatagorikan tanah longsor sebagai salah satu bencana geologis yang paling bisa diperkirakan. Ada tiga parameter untuk memantau kemungkinan terjadinya perpindahan massa tanah dalam jumlah besar dalam bentuk longsor, yaitu:

1. Keretakan pada tanah adalah ujud yang biasa ditemui pada banyak kasus. Bentuknya bisa konsentris (terpusat seperti lingkaran) atau paralel dan lebarnya beberapa sentimeter dengan panjang beberapa meter, sehingga bisa dibedakan dari retakan biasa. Formasi retakan dan ukurannya yang makin lebar merupakan parameter ukur umum semakin dekatnya waktu longsor;

2. Penampakan runtuhnya bagian-bagian tanah dalam jumlah besar;

3. Selanjutnya kejadian longsor di satu tempat menjadi parameter kawasan tanah longsor lebih luas lagi. Perubahan-perubahan ini seiring waktu mengindikasikan dua hal: kerusakan lingkungan (misalnya penggundulan hutan dan perubahan cuaca secara ekstrim) dan menjadi tanda-tanda penting bahwa telah terjadi penurunan kualitas landskap dan ekosistem.

VII. Pemantauan Kawasan Rawan Longsor dan Langkah Mitigasi

Kegiatan survei dilakukan untuk mengidentifikasi pola-pola gerakan tanah di kawasan kawasan di mana longsor diperkirakan terjadi. Ini dilakukan dengan pengukuran geofisika dan geologi, dengan memasang alat-alat ukur gerakan tanah. Faktor-faktor yang membuat kawasan tertentu lebih rawan longsor dibandingkan kawasan lainnya diukur. Diantara faktor ini adalah jenis dan distribusi tanah dan bebatuan, kemiringan lereng, cara air mengalir di permukaan dan di bawah permukaan tanah, besaran pengaruh cuaca, dan kerentanan pecah pada bebatuan.

Sebagian pekerjaan survei, seperti kemiringan lahan (diturunkan dari data topografi dan kontur), deteksi aliran air permukaan, klasifikasi umum jenis tanah dapat dilakukan secara langsung menggunakan tehnik penginderaan jauh (remote sensing). Sebagian lainnya dilakukan dengan memadukan pekerjaan survei lapangan dan interpretasi citra satelit. Pekerjaan survei dapat dibatasi untuk mengambil kawasan-kawasan contoh (sampling) yang digunakan untuk pemetaan kawasan luas dengan tehnik pengolahan citra hasil penginderaan jauh.

Dari suvei di atas peta-peta tematis, seperti peta geomorfologis dan peta geologis tentang jenis-jenis bebatuan dan karakteristiknya, dapat diproduksi. Peta-peta ini menjadi dasar bagi penataan ruang dan langkah-langkah mitigasi, seperti penerapan sistem peringatan dini dan pengkajian tingkat resiko longsor pada kebijakan pertanahan. Hal ini menjamin berlangsungnya proses yang tepat pada pembangunan kawasan-kawasan baru dengan mengkaji hal-hal yang terkait dengan kestabilan lereng. Penataan ruang untuk pembangunan diarahkan pada kawasan dengan resiko ketidakstabilan longsor rendah atau sangat rendah.

Sistem informasi resiko longsor di atas juga dapat digunakan sebagai landasan praktis misalnya untuk pemindahan jalur jalan atau menentukan kawasan khusus tempat bebatuan jatuh, sehingga tidak menimbulkan kerusakan dan gangguan pada arus lalu lintas.

Pada kasus lain bisa disarankan untuk memperbaiki kawasan lereng secara intensif, misalnya dengan mengokohkan permukaan tanah ke lapisan di bawahnya dengan melakukan pengecoran atau membangun sistem pengairan untuk mengurangi erosi air dan menjaga kestabilan tanah. Pekerjaan-pekerjaan ini menjadi tanggung jawab pemerintah, karena membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pekerjaan ini membutuhkan tenaga-tenaga terampil di bidang tehnik sipil dan geologi.

Sebagai penutup, tak ada yang dapat menghentikan kekuatan alam yang berujud tanah longsor ini, tetapi kita bisa meminimalisasi akibat-akibatnya. Oleh karenanya informasi yang sudah dikompilasi melalui penelitian dan pengkajian di atas mesti disebarluaskan secara jelas dan populer kepada masyarakat, terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah rawan longsor. Pengetahuan dan informasi ini menolong masyarakat untuk melindungi diri dan harta mereka. Pendekatan-pendekatan pendidikan dan sosial terpadu amat diperlukan pada tahapan penginformasian ini.

VIII. Metode dan Analisis Risiko Bencana Longsor

Sementara penyebab longsor dalam artian luas adalah: relief, drainase, batuan induk/batuan dasar, regolit, kegempaan, iklim dan pengaruh manusia ( Cooke dan Dornkamp, 1990). Variabel yang digunakan kedua bencana ini relatif hampir sama yaitu : satuan bentuklahan, lereng, tanah, batuan, proses geomorfik, air tanah, tutupan lahan dan curah hujan, sedangkan variabel sosial ekonominya meliputi aspek penduduk (jumlah) dan aspek harta benda (sawah, ladang, kebun, ternak, rumah dan isinya, dalam rupiah).

Metode penentuan tingkat kerawanan bencana longsor

Analisis longsor secara umum didasarkan pada lima faktor yang menyebabkan terjadinya yaitu : geologi, morfologi, curah hujan, penggunaan lahan, dan intensitas gempa. Berdasarkan faktor faktor tersebut disusun tingkatan kerawanan bencana alam longsor dengan mengacu kriteria pada Sugalang dan Siagian (1991).

Peta Rawan Longsor dihasilkan dari tumpang-susun antara Peta Geologi, Peta Curah Hujan, Peta Lereng, Peta Penggunaan Lahan, Peta Tanah dan Peta Bentuklahan. Tumpang-susun dilakukan dengan mengalikan skor dari masing-masing peta masukan yang digunakan. Pemetaan daerah rawan bencana longsor ini dilakukan dengan pendekatan morfodinamik.

Metode penentuan tingkat risiko bencana longsor

Kerangka kerja untuk penilaian risiko bencana longsor didasarkan pada potensi bencana, derajat kehilangan (vulnerability). Potensi bencana (yang mencakup intensitas atau magnitut dan probalititas kajadian) yang penilaian didasarkan pada faktor alamiah (yang dapat dikaji melalui observasi, inventarisasi, akunting dan peta tematik).

Penilaian menurut Mark dan Stuart (1977, dalam Lundgreen, 1986) untuk menilai risiko bencana kemungkinan jebolnya suatu dam di Amerika dengan menggunakan rumus:

R = f pc C(v) ………………………………………………….(2)

dalam hal ini : R = risiko

pc = probabilitas dari kejadian spesifik atau konsekuensi

C(v) = nilai konsekuensi akibat bencana

Berdasarkan data hasil perkiraan tersebut, dapat diperhitungkan peta kemampuan lahan untuk tujuan dan bencana tertentu. Peta kemampuan lahan untuk memperkirakan risiko tersebut dapat menunjukan biaya tambahan akibat bencana dan kehilangan sumberdaya.

IX. Model Pengolahan Data Penginderaan Jauh untuk Mitigasi bencana Longsor

Longsor atau gerakan tanah merupakan salah satu bencana geologis yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah maupun non alamiah. Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran yang bergerak ke bawah atau keluar lereng. Dampak dari bencana ini sangat merugikan, baik dari segi lingkungan maupun sosial ekonomi. Kejadian longsor di pulau Jawa banyak terjadi terutama di bagian selatan. Berdasarkan peta yang dihasilkan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Jawa Barat bagian selatan merupakan wilayah dengan kerentanan longsor yang sangat tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di pulau Jawa. Sejarah kejadian longsor di wilayah ini

Pemetaan rawan longsor telah dilakukan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi untuk pulau Jawa, tetapi perlu dilakukan updating terhadap peta yang dihasilkan karena kemungkinan adanya perubahan kondisi biofisik lahan. Updating dapat dilakukan berdasarkan survei lapangan yang diharapkan memberikan hasil yang sangat teliti. Namun hal ini membutuhkan biaya dan waktu yang cukup besar. Selain itu pengamatan lapangan tidak selalu dapat menjangkau seluruh daerah yang akan dipetakan misalnya daerah dengan kondisi wilayah yang sulit dijangkau. Salah satu alternatif untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan memanfaatkan data inderaja.

Mitigasi longsor pada prinsipnya bertujuan untuk meminimumkan dampak bencana tersebut. Untuk itu kegiatan early warning (peringatan dini) bencana menjadi sangat penting. Peringatan dini dapat dilakukan antara lain melalui prediksi cuaca/iklim sebagai salah satu faktor yang menentukan bencana longsor.

Pemanfaatan data satelit khususnya untuk aplikasi data satelit untuk bencana geologi dihadapkan pada masalah pemilihan jenis data dan metode pengolahannya. Kebutuhan data dengan resolusi tinggi (spasial, spektral, temporal) perlu dikombinasikan menjadi suatu aplikasi komplementer, sehingga keunggulan masing-masing data dapat dimanfaatkan. Khusus dalam aplikasi data ASTER, hingga saat ini telah banyak dilakukan riset untuk menyusun model pengolahan data bagi aplikasi bencana geologi. Namun untuk penerapannya di Indonesia perlu dilakukan riset dengan cara mengkaji karakteristik band yang berhubungan dengan bencana geologi sehinga dapat disusun model pengolahan datanya untuk tujuan operasional. Sementara itu data ALOS adalah jenis data satelit yang masih relatif baru karena satelit ALOS diluncurkan pada bulan Januari 2006 sehingga pemanfaatan datanya belum banyak dikaji secara intensif.

X. Teknik Pengendalian Tanah Berpotensi Longsor

•  Inventarisasi daerah berpotensi  longsor di Purworejo dan Kulonprogo dengan menggunakan bantuan citra satelit (landsat) atau foto udara, kemudian ditumpangtindihkan dengan peta topografi dan peta daerah rawan longsor/geologi.

•  Desa-desa terpilih dijadikan lokasi kajian, yaitu di desa Kemanukan-kecamatan Bagelen dan desa Purwoharjo-kecamatan Samigaluh.

•  Plot/site kajian ditetapkan berdasarkan  kejadian bencana terakhir yang terjadi

•  Penyelidikan geoteknik (sifat mekanika tanah) dilakukan untuk menetapkan dan menghitung  kekuatan geser masa tanah/batuan  (r), tegangan geser (t), kohesi (c), dan sudut geser (α) tanah dari contoh tanah yang berada diatas bidang luncur.

•  Penyelidikan gerak masa tanah dilakukan dengan menggunakan metode pengukuran lubang bor yang beri stik dari basi baja dan diukur tingkat gerakannya (perubahan kemiringan) dengan kedalaman vertical lubang bor berkisar antara 0.5-2 m.

•  Penentuan tingkat kandungan air tanah yang dapat didrainasekan dilakukan dengan menggunakan  sulingan yang terbuat dari peralon yang dilobangi seperti seruling. Peralon tersebut secara horizontal ditancapkan kedalam dinding/lereng sedalam sampai pada batuan keras/bidang luncur.

•  Rencana (design) teknis untuk pengendalian  tanah berpotensi longsor dilakukan dengan tujuan untuk menetapkan rencana teknik pengendalian yang akan diterapkan yang disesuaikan dengan kondisi lokasi, tingkat potensi bahaya tanah longsor, sosial-ekonomi-budaya masyarakat setempat yang meliputi:

ü  penutupan retakan tanah (sebelum hujan) dengan tanah liat

ü  pengendalian sudut lereng (tebing) dengan bronjong kawat yang diisi dengan batu kali.

ü  pengaturan drainase air permukaan dengan pembuatan saluran pembuangan air (SPA) yang dilengkapi dengan  drop structure (terjunan) dari batu.

ü  pengaturan drainase bawah permukaan tanah dengan pembuatan sulingan yang terbuat dari pipa pralon yang ditusukkan secara horizontal pada lereng/tebing sampai pada batuan keras.

Padahal, stasiun tersebut kerap memiliki karakter yang berbeda-beda di setiap wilayah. Akibatnya hasil pengukuran pun berbeda. Ttak heran jika banyak nelayan dari negara asing yang dengan tenangnya mengeruk kekayaan laut kita, seakan dianggap wilayah laut negaranya.

XI. Dampak Perubahan Iklim dan Perubahan Penutup Lahan Terhadap Bahaya Longsor: Studi Kasus Kab. Garut

Bencana akibat gerakan tanah longsor  terjadi di sebagian besar daerah pegunungan di Indonesia, dan khususnya wilayah Jawa Barat bagian selatan merupakan daerah rentan longsor. Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan tanah bersifat alamiah dan buatan, statis dan dinamis. Pengaruh  iklim  (curah hujan) dan penutup  lahan perlu dikaji untuk antisipasi  potensi  gerakan  tanah  di  masa  yang  akan  datang.  Berdasarkan  studi  oleh Ratag (2005), curah hujan di Jawa Barat diprojeksikan mengalami perubahan 60-160% untuk  tahun  2050,  dan  50-175%  untuk  tahun  2100  relatif  terhadap  curah  hujan  tahun 1990.  Sedangkan  tutupan  lahan  di  Pulau  Jawa  mengalami  perubahan  cukup  besar dengan berkurangnya lahan bervegetasi.

Model spasial bahaya longsor dengan menggunakan beberapa skenario perubahan curah hujan  dan  perubahan  penutup  lahan  berbasis  data  penginderaan  jauh  dan  Sistem Informasi  Geografi  (SIG)  disimulasikan  pada  wilayah  Kabupaten  Garut  untuk menganalisis  dampak  perubahan  curah  hujan  dan  perubahan  penutup  lahan  terhadap bahaya  longsor. Pemodelan menggunakan data  tematik yang diturunkan dari data citra dan SRTM seperti tutupan lahan, geologi dan lereng, ditambah data curah hujan spasial, peta  jenis  tanah  dan  infrastruktur. Analisis dilakukan melalui metode tumpang-tindih (overlay) dengan pembobotan untuk  mendapatkan peta bahaya longsor. Dengan mengintegrasikan peta kejadian longsor  sebelumnya dan peta kependudukan ke dalam peta bahaya longsor diperoleh peta resiko longsor.

Analisis dampak perubahan iklim terhadap luas daeah bahaya longsor dilakukan dengan memberikan perubahan secara presentase pada curah hujan, sedangkan analisis terhadap perubahan tutupan lahan / vegetasi dilakukan dengan mengurangi luas tutupan hutan.

Published by Fadly Sutrisno

Heavier Than You Think

One thought on “Aplikasi Penggunaan Satelit Penginderaan Jauh di Indonesia untuk Mitigasi Serta Penanggulangan Bencana Longsor

Leave a reply to hendra Cancel reply